Selasa, 13 April 2010

KEBEBASAN BEREKSPRESI, TOPENG EKSPLOITASI KAUM PEREMPUAN


Paradigma berpikir masyarakat saat ini memang sangat terpengaruh oleh Ideologi Kapitalisme, dengan aqidahnya sekulerisme, sebuah paham yang menganggap bahwa kehidupan tidak perlu diatur oleh agama atau Sang Pencipta akan tetapi cukup diserahkan kepada manusia dengan asas manfaatnya. Agama sekaligus Sang Pencipta, cukup berperan di wilayah privat individu saja mengatur spiritual di sudut-sudut tempat peribadahan.

Asas manfaat menjadi tolok ukur nilai seluruh aktivitas kehidupannya. Apa saja yang dianggap bisa mendatangkan ‘kemanfaatan’ dianggap sebagai komoditas atau barang dagangan yang bisa ‘dibisniskan’. Termasuk perempuan diakui atau tidak oleh para pengemban Kapitalisme, sudah lama dianggap sebagai komoditas yang bisa ‘dieksploitasi’ dalam berbagai bentuk, mulai dari pamer aurat hingga pelacuran, bahkan sering disebut-sebut sebagai bisnis ‘tertua’ di dunia. Meskipun pada faktanya, posisi perempuan sebagai komoditas ini ‘terkamuflase’ oleh sesuatu yang bernama Hak Asasi Manusia (HAM) yang terkesan luhur dan agung, wujud penghargaan tertinggi atas hak kebebasan dasar manusia, baik dalam menentukan agama, berpendapat, memiliki ataupun mengekspresikan dirinya.


Namun, serapi dan seindah apapun kulit pembungkusnya, ‘sang penyamar’ tidak akan selamanya mampu bertahan dengan samarannya karena tidak sesuai dengan ‘jati diri’ yang sebenarnya. Perlahan namun pasti, akan terkuak identitas hakiki dibalik kamuflasenya. Perempuan sebagai sebuah komoditas, walaupun terbungkus ide kebebasan berekspresi, tetaplah objek yang ‘dibisniskan’, yang merupakan bentuk ‘pelecehan’ yang sangat tidak manusiawi meski tersembunyi sekalipun. Walau seribu aturan dilegal kan untuk ‘mencegah’ tindak pengobjekkan: terhadap perempuan, upaya tersebut tidak akan mengubah kedu dukan perempuan dalam pandangan kapitalisme, dari posisi ‘objek’ menjadi ‘subjek’, karena asas pandangannya masih tetap sama yakni sekulerisme dan kemanfaatan.

Melihat metode berpikir yang digunakan JPPP, kita menemukan ada dua standar pemikiran (standar ganda) yang bertentangan dalam masalah ini. Satu sisi, pelarangan pornografi dan pornoaksi dianggap tindakan ‘pemasungan’ terhadap kebebasan berekspresi dan nyata-nyata melanggar HAM. Adanya RUU APP menunjukkan negara telah melanggar wilayah privat individu. Namun, pada sisi lain, mereka keberatan dengan konsekuensi yang berupa “akibat atau dampak”, yakni pelecehan perempuan dan tindak kekerasan lain yang disebabkan pornografi-kebebasan berekspresi, sehingga mereka menuntut negara-lah yang harus bertanggung jawab untuk memberikan payung hukum dan menindak pelakunya dengan catatan tidak boleh mengotak atik “hak kebebasan berekspresi” yang merupakan sebab utama timbulnya dampak-akibat tersebut. Sepintas terlihat adanya egoisme individualis mendominasi pendapat mereka.

Selain itu, Undang-undang (UU) dalam demokrasi yang mereka agung-agungkan (dan juga dijajakan sebagai “kebenaran universal” ke negeri-negeri muslim), lahir sebagai sebuah kesepakatan rakyat yang direpresentasikan dalam lembaga legislatif yakni DPR/MPR. Draft RUU APP ini juga adalah sebuah kesepakatan rakyat, yang proses pengambilan keputusannya berdasarkan suara mayoritas sebagai kelaziman pengambilan hukum dalam sebuah negara demokratis. Jadi, ketika RUU APP itu disusun oleh DPR/ MPR, harus dipahami sebagai sebuah proses demokratis yang merupakan realita kesepakatan rakyat, namun yang terjadi JPPP malah melakukan pengingkaran terhadap realita dengan dalih draft RUU APP tersebut merupakan sebuah produk dari ‘sekelompok kecil’ golongan umat. Dalam hal ini, JPPP terlihat tidak konsisten terhadap ide mereka sendiri mengenai kesepakatan rakyat, justru pendapat mereka cenderung egois ketimbang demokratis, bahkan terbilang konservatif ketimbang liberalis. Padahal mereka dikenal sebagai pengusung demokrasi dan liberalisme.

Standar Ganda dalam berpendapat ini terjadi tidak terlepas dari kekeliruan mereka dalam memahami konsep “masyarakat” yang dianggap sebagai “kumpulan individu” semata. Sehingga, persepsi terhadap masyarakat ‘tidak le bih penting’ perhatiannya dari individu, karena masyarakat dianggap ‘tidak ada bedanya’ dengan individu. Padahal secara realita masyarakat bukanlah kumpulan individu semata, namun masyarakat adalah individu-individu sebagai manusia yang saling berinteraksi berdasarkan aturan tertentu, yang aturan tersebut terbentuk atas kesamaan pemikiran dan perasaan yang dimiliki manusia tersebut. Berdasar realita masyarakat, maka menjadi sebuah kewajaran bahwa interaksi individu akan saling mempengaruhi individu lainnya (termasuk masyarakat). Disamping itu, interaksi antar individu terkait dengan pemenuhan kebutuhan manusia yang tidak hanya satu aspek saja, sehingga perma salahan individu pasti berhubungan dengan permasalahan pemuasan kebutuhan yang lainnya.

Karena pemahaman mereka yang rusak, yaitu masyarakat adalah kumpulan individu semata, maka menurut mereka kepentingan individulah yang menjadi titik perhatian dalam menetapkan segala sesuatu termasuk ketika menetapkan berbagai aturan atau solusi. Keberadaan negara tidak lebih hanya sebagai ‘sarana’ atau ‘wadah’ untuk menjamin penuh kebebasan dan melindungi kepentingan individu. Namun pada pelaksanaannya, kebebasan individu ini pada beberapa hal harus dibatasi karena terbukti adanya ketidak mungkinan penerapan ide kebebasan tersebut, yakni justru kebebasan individu mengakibatkan pertentangan antara individu itu sendiri. Salah satunya, pada kasus pornografi dan pornoaksi ini yang merupakan hak kebebasan berekspresi individu, namun ketika ada individu lain yang ‘mengeksploitasi’, maka hal ini mau tidak mau harus dibatasi. Hal ini menunjukkan, upaya tambal sulam solusi yang berasal dari pemikiran kapitalisme.

Bisa dipahami ketika mereka menyatakan bahwa pornografi tak mungkin ‘diberantas’, akan tetapi hanya bisa dilakukan ‘pembatasan’ saja, karena setiap solusi yang mereka tawarkan tidak sampai kepada ‘menghilangkan’ sebab atau akar permasalahan disebabkan akan melanggar kebebasan berekspresi individu. Oleh karenanya, setiap solusi yang dihasilkan akan selalu memunculkan masalah baru, karena solusinya hanya sebatas cabang dan permukaan saja. Solusi seperti ini, semakin lama tentu bukannya semakin mempermudah penyelesaian akan tetapi masalah semakin melebar dan tumpang tindih, yang akibatnya tentu saja bukan hanya merusak sistem kehidupan namun juga merusak para pengusungnya. Bisa dipahami pula, kasus pornografi dan pornoaksi ini tidak mereka anggap sebagai masalah moralitas yang memiliki dampak besar terhadap masyarakat, apalagi sebagai masalah sebuah tatanan kehidupan yang rusak, pornografi hanya masalah individu per individu saja tidak ada hubungan dengan masyarakat, hanya masalah ‘hak’ individu yang harus dibatasi agar tidak mengganggu individu lainnya. Dan disinilah fungsi adanya institusi negara. Makanya, pornografi hanya dipahami dengan definisi dan batasan-batasan sempit sebatas masalah kriminal ekploitatif.

Inilah gambaran nyata sistem kehidupan buatan manusia, kebangkitan semu yang nampak selama ini semakin jelas retak-retak keruntuhannya. Meningkatnya penderita AIDS dan penyakit seksual, meningkatnya pengguna narkoba, banyaknya bayi lahir di luar nikah, banyaknya kasus aborsi, maraknya prostitusi dan perselingkuhan, dan lain-lain, salah satu tanda kejatuhan ideologi batil tersebut. Tak ada yang bisa membantah, bahwa hanya aturan Sang Penciptalah yang mampu menegakkan kebangkitan hakiki karena Dialah yang Maha Mengetahui segala kelemahan, kelebihan, baik dan buruknya manusia. Tentu saja, karena Dialah yang menciptakan manusia beserta alam semesta dan segala isinya.

thumbnail
Judul: KEBEBASAN BEREKSPRESI, TOPENG EKSPLOITASI KAUM PEREMPUAN
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Ditulis Oleh

Artikel Terkait :

0 comments:

Posting Komentar

 
Copyright © 2013. About - Sitemap - Contact - Privacy
Template Seo Elite oleh Bamz