Jumat, 26 Maret 2010

Macam-Macam Dzari’ah

Ada dua pembagian Dzari’ah yang dikemukakan para ulama ushul fiqh. Dzari’ah dilihat dari segi kualitas kemafsadatannya dan Dzari’ah dilihat dari segi jenis kemafsadatannya.
A. Dzari’ah dilihat dari segi kualitas kemafsadatannya
Imam al-Syathibi mengemukakan bahwa dari segi kualitas kemafsadatannya, dzari’ah terbagi menjadi empat macam:
- Perbuatan yang dilakukan itu boleh dilakukan, karena jarang membawa kepada kemafsadatan. Misalnya, menggali sumur di tempat yang biasanya tidak memberi mudarat atau menjual sejenis makanan yang biasanya tidak memberi mudarat kepada orang yang memakannya. Perbuatan seperti ini tetap pada hokum asalnya, yaitu mubah (boleh), karena yang dilarang itu adalah apabila diduga keras bahwa perbuatan itu membawa kepada kemafsadatan. Sedangkan dalam kasus ini, jarang sekali terjadi kemafsadatan.
- Perbuatan yang dilakukan itu biasanya atau besar kemungkinan membawa kepada kemafsadatan. Misalnya, menjual senjata kepada musuh atau menjual anggur kepada produsen minuman keras. Menjual senjata kepada musuh, sangat mungkin senjata itu akan digunakan untuk berperang, atau paling tidak digunakan untuk membunuh. Demikian juga halnya menjual anggur kepada produsen minuman keras, sangaat mungkin anggur yang dijual itu akan diproses menjadi minuman keras. Perbuatan seperti ini dilarang, karena dugaan keras (zhann al-ghalib) bahwa perbuatan itu membawa kepada kemafsadatan, sehingga dapat di jadikan patokan dalam menetapkan larangan terhadap perbuatan itu.
- Perbuatan itu pada dasarnya boleh dilakukan karena mengandung kemaslahatan, tetapi memungkinkan juga perbuatan itu membawa kepada kemafsadatan. Misalnya, kasus jual beli yang disebut bay’u al- ‘ajal di atas. Jual beli seperti itu cenderung berimplikasi kepada riba.
Apabila pandangan hanya ditunjukan kepada patokan dasar jual beli, maka jual beli seperti itu boleh, karena rukun dan syaratnya terpenuhi. Pandangan seperti ini muncul dari Imam Syafi’i dan imam Abu Hanifah, karena menurut mereka, jika bertolak dari dugaan belaka (zhann al-mujarrad) dalam kasus seperti ini, maka tidak bisa di jadikan dasar keharaman bay’u al-‘ajal tersebut.
Apabila pandangan ditujukan kepada akibat dari perbuatan (jual beli) itu, yang lebih cenderung menjurus kepada riba, maka perbuatan ini di larang. Pandangan terakhir ini dianut oleh Imam Malik dan Imam Ahmad ibn Hambal.
Oleh sebab itu, menurut Imam al-Syatibhi, dalam menentukan hokum bentuk yang keempat di atas terdapat perbedaan pendapat. Ulama Hanafiyyah dan Syafi’iyyah mengatakan bahwa dzari’ah dalam bentuk yang keempat tidak dilarang, Karena terjadinya kemafsadatan masih bersifat kemungkinan membawa kemafsadatan atau tidak. Oleh sebab itu, dugaan seperti ini tidak bisa membuat perbuatan yang pada dasarnya dibolehkan menjadi dilarang, kecuali apabila kemafsadatan itu diyakini atau diduga keras akan terjadi. Dalam kasus bay’ul al-ajal diatas, secara hukum, pembeli telah membeli barang seharga seribu rupiah secara kredit. Jual beli ini sah. Kemudian, pembeli menjual kembali barangnya itu, yang secara kebetulan, kepada penjual semua seharga lima ratus rupiah. Inipun sah. Tidak bisa dikatakan bahwa diantara keduanya ada niat untuk mengkhalalkan riba, karena hal ini baru bersifat dugaan semata.
Akan tetapi, ulama Malikiyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa jual beli seperti itu termasuk dalam perbuatan yang membawa kepada kemafsadatan. Oleh sebab itu, akad seperti itu dilarang, karena bagi mereka yang dijadikan patokan boleh atau tidaknya transaksi (akad) tidak hanya dilihat dari segi niat, jual-beli tersebut memang sulit diduga bertujuan untuk menghalalkan riba. Akan tetapi, dari segi akibat yang ditimbulkannya, maka secara umum diduga keras membawa kepada kemafsadatan. Dari sisi inilah ulama Malikiyyah dan Hanabilah, jual beli seperti itu dilarang.
Ada tiga alasan yang dikemukakan Imam Malik dan Imam Hambal dalam mendukung pendapatnya:
1) Perlu dipertimbangkan tujuan yang membawa kepada riba
2) Dasar yang bertentangan yaitu, bahwa jual beli pada dasarnya diperbolehkan, selama syarat dan rukunnya terpenuhi dan bahwa seseorang harus terhindar dari segala bentuk kemudaratan
3) Banyak sekali nash yang menunjukan dilarangnya perbuatan-perbuatan yang membawa kemudaratan sekalipun pada dasarnya perbuatan itu diizinkan.
B. Dzari’ah dari segi jenis kemafsadatan yang ditimbulkannya
Menurut Ibn Qayyim berpendapat bahwa dzari’ah dari segi ini terbagi kepada:
1 Perbuatan itu membawa kepada suatu kemafsadatan,
2 Perbuatan itu pada dasarnya perbuatan yang diperbolehkan/dianjurkan tetapi dijadikan jalan untuk melakukan suatu perbuatan yang haram baik disengaja atau tidak.

thumbnail
Judul: Macam-Macam Dzari’ah
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Ditulis Oleh

Artikel Terkait :

0 comments:

Posting Komentar

 
Copyright © 2013. About - Sitemap - Contact - Privacy
Template Seo Elite oleh Bamz